Materi KD.14

Sistem dan Dinamika Demokrasi Pancasila Sesuai dengan UUD NRI tahun 1945

KI, KD, IPK 14

Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, dan Indikator Pencapaian Kompetensi KD.14


Tujuan Pembelajaran

Tujuan Pembelajaran

Aspek Sikap Spiritual

1.14.1 Menghayati nilai-nilai ke-Tuhanan YME dalam berdemokrasi Pancasila sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan konsinten

1.14.1 Mengamalkan nilai-nilai ke-Tuhanan YME dalam berdemokrasi Pancasila sesuai Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan konsisten

Aspek Sikap Sosial

2.14.1 Menunjukkan sikap Toleran dalam berdemokrasi Pancasila sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2.14.2 Cinta damai dalam berdemokrasi Pancasila sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Aspek Pengetahuan

3.14.1 Mendeskripsikan hakikat demokrasi Pancasila

3.14.2 Menganalisis Dinamika Penerapan Demokrasi Periode (1945-1950), Penerapan Demokrasi Periode (1950-1959), Penerapan Demokrasi Periode (1959-1965) hingga penerapan demokrasi era reformasi dengan benar dan tepat

3.14.3 Menganalisis upaya membangun kehidupan yang demokratis di Indonesia dengan teliti

Aspek Keterampilan

4.14.1 Menyaji secara tertulis hasil analisis tentang sistem dan dinamika demokrasi Pancasila sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pertemuan Pertama:

Hakikat Demokrasi Pancasila

1. Makna Demokrasi

Jika kita cermati, kondisi yang yang terjadi saat ini. Di saat orang saling berebut pandangan mengenai arti demokrasi, tiap orang mengemukakan sudut pandang berbeda yang tidak jarang tidak mau menerima sudut pandang orang lain. Tidak jarang ada orang atau kelompok yang mendasarkan arti demokrasi dari sudut agama, politik dan sebagainya. Oleh karena itu, pada bagian ini akan diuraikan pengertian demokrasi secara sistematis mulai dari asal kata sampai pada taraf pelaksanaannya.

Kata demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Kata ini kemudian diserap menjadi salah satu kosa kata dalam bahasa Inggris yaitu democracy. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Kebanyakan orang mungkin sudah terbiasa dengan istilah demokrasi, tapi tidak menutup kemungkinan masih ada yang salah dalam mempersepsikan istilah demokrasi. Bahkan tidak hanya itu, konsep demokrasi bisa saja disalahgunakan oleh para penguasa terutama penguasa yang otoriter untuk memperoleh dukungan rakyat agar kekuasaannya tetap langgeng.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi merupakan istilah politik yang berarti pemerintahan rakyat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam sebuah negara demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas.

Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya tidak sama. Sebagai suatu konsep, demokrasi adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan yang juga mencakup seperangkat praktik yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Artinya, kebebasan yang dimiliki rakyat diatur dan diarahkan oleh sebuah lembaga kekuasaan yang sumber kekuasaannya berasal dari rakyat dan dijalankan sendiri oleh rakyat sehingga kebebasan yang mereka miliki dapat dilaksanakan secara bertanggung jawab dan tidak melanggar kebebasan yang dimiliki orang lain.

1. Klasifikasi Demokrasi

Demokrasi telah dijadikan sebagai sistem politik yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya berbeda-beda bergantung dari sudut pandang masing-masing. Keanekaragaman sudut pandang inilah yang membuat demokrasi dapat dikenal dari berbagai macam bentuk. Berikut ini dipaparkan beberapa macam bentuk demokrasi

a. Berdasarkan titik berat perhatiannya

Dilihat dari titik berat yang menjadi perhatiannya, demokrasi dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk.

  • Demokrasi formal, yaitu suatu demokrasi yang menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik, tanpa disertai upaya untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan dalam bidang ekonomi. Bentuk demokrasi ini dianut oleh negara-negara liberal.

  • Demokrasi material, yaitu demokrasi yang dititikberatkan pada upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi, sedangkan persamaan dalam bidang politik kurang diperhatikan bahkan kadang-kadang dihilangkan. Bentuk demokrasi ini dianut oleh negara-negara komunis

  • Demokrasi gabungan, yaitu bentuk demokrasi yang mengambil kebaikan serta membuang keburukan dari bentuk demokrasi formal dan material. Bentuk demokrasi ini dianut oleh negara-negara non-blok.

b. Berdasarkan ideologi

Berdasarkan ideologi yang menjadi landasannya, demokrasi dapat dibedakan ke dalam dua bentuk:

  • Demokrasi konstitusional atau demokrasi liberal adalah kekuasaan pemerintahannya terbatas dan tidak diperkenankan banyak melakukan campur tangan dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi.

  • Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar, yaitu demokrasi yang didasarkan pada paham marxisme-komunisme. Demokrasi rakyat mencita-citakan kehidupan yang tidak mengenal kelas sosial. Manusia dibebaskan dari keterikatannya kepada pemilikan pribadi tanpa ada penindasan serta paksaan. Akan tetapi, untuk mencapai masyarakat tersebut, apabila diperlukan, dapat dilakukan dengan cara paksa atau kekerasan. Menurut Mr. Kranenburg demokrasi rakyat lebih mendewakan pemimpin. Sementara menurut pandangan Miriam Budiardjo, komunisme tidak hanya merupakan sistem politik, tetapi juga mencerminkan gaya hidup yang berdasarkan nilai-nilai tertentu. Negara merupakan alat untuk mencapai komunisme dan kekerasaan dipandang sebagai alat yang sah.

c. Berdasarkan proses penyaluran kehendak rakyat

Menurut cara penyaluran kehendak rakyat, demokrasi dapat dibedakan ke dalam dua bentuk.

1). Demokrasi langsung, yaitu paham demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum negara atau undang-undang secara langsung.

2). Demokrasi tidak langsung, yaitu paham demokrasi yang dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Penerapan demokrasi seperti ini berkaitan dengan kenyataan suatu negara yang jumlah penduduknya semakin banyak, wilayahnya semakin luas, dan permasalahan yang dihadapinya semakin rumit dan kompleks. Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan biasanya dilaksanakan melalui pemilihan umum.

3. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Berbicara mengenai demokrasi tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang kekuasaan rakyat. Seperti yang diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara eksplisit ditegaskan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang sebenarnya Demokrasi sebagai sistem politik yang saat ini dianut oleh sebagian besar negara di dunia tentu saja memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan sistem yang lain. Henry B. Mayo sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik mengungkapkan prinsip dari demokrasi yang akan mewujudkan suatu sistem politik yang demokratis. Adapun, prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut :

  1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.

  2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.

  3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.

  4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum.

  5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman.

  6. Menjamin tegaknya keadilan.

Kemudian, menurut Alamudi sebagaimana dikutip oleh Sri Wuryan dan Syaifullah dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kewarganegaraan, suatu negara dapat disebut berbudaya demokrasi apabila memiliki soko guru demokrasi sebagai berikut.

  1. Kedaulatan rakyat.

  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.

  3. Kekuasaan mayoritas.

  4. Hak-hak minoritas.

  5. Jaminan hak-hak asasi manusia.

  6. Pemilihan yang bebas dan jujur.

  7. Persamaan di depan hukum.

  8. Proses hukum yang wajar.

  9. Pembatasan pemerintahan secara konstitusional.

  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik.

  11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat

Prinsip-prinsip demokrasi yang diuraikan di atas sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengembangkan suatu bentuk pemerintahan yang demokratis. Berdasarkan prinsip-prinsip inilah, sebuah pemerintahan yang demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa prinsip-prinsip tersebut, bentuk pemerintah yang demokratis akan sulit ditegakkan.

Info Kewarganegaraan:

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini dapat saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances

Penerapan demokrasi di Indonesia didasari oleh sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, serta menjiwai sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dalam pandangan Abraham Lincoln, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya, rakyat dengan serta merta mempunyai kebebasan untuk melakukan semua aktivitas kehidupan termasuk aktivitas politik tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun, karena pada hakikatnya yang berkuasa adalah rakyat untuk kepentingan bersama.

Dengan demikian, sebagai sebuah konsep politik, demokrasi adalah landasan dalam menata sistem pemerintahan negara yang terus berproses ke arah yang lebih baik. Dalam proses tersebut, rakyat diberi peran penting dalam menentukan atau memutuskan berbagai hal yang menyangkut Kehidupan konsep dasar demokrasi bersama sebagai sebuah bangsa dan negara

Pertemuan Kedua:

DINAMIKA PENERAPAN DEMOKRASI PERIODE (1945-1950), PENERAPAN DEMOKRASI PERIODE (1950-1959) DAN PENERAPAN DEMOKRASI PERIODE (1959-1965)

a. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Periode 1945 – 1950 (Demokrasi Revolusi)

Saat masa revolusi bangsa Indonesia masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda. Pada masa revolusi, demokrasi belum secara baik terlaksana di Negara Indonesia. Di awal kemerdekaan, Indonesia masih mengalami suatu sentralisasi kekuasaan. Partai-partai politik tumbuh dan berkembang dengan cepat. Tetapi, fungsinya yang paling utama adalah ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan dengan menanamkan kesadaran untuk bernegara serta menanamkan semangat anti penjajahan. Karena keadaan yang tidak mengizinkan, pemilihan umum belum dapat dilaksanakan sekali pun hal itu telah menjadi salah satu agenda politik utama.

Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan hal mendasar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia untuk masa selanjutnya yaitu :

  1. Pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Para pembentuk negara sudah sejak semula mempunyai komitmen yang sangat besar terhadap demokrasi sehingga begitu mereka menyatakan kemerdekaan dari pemerintah kolonial Belanda, semua warga negara yang sudah dianggap dewasa memiliki hak politik yang sama, tanpa ada diskriminasi yang bersumber dari ras, agama, suku, dan kedaerahan.

  2. Presiden yang secara konstitusional memiliki kemungkinan untuk menjadi seorang diktator, dibatasi kekuasaanya ketika Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk untuk menggantikan parlemen.

Dengan maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian menjadi peletak dasar bagi sistem kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik kita.

b. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Periode 1950 - 1959 (Demokrasi Liberal)

Periode kedua pemerintahan negara Indonesia merdeka berlangsung dalam rentang waktu antara tahun 1949 sampai 1959. Pada periode ini terjadi dua kali pergantian undang-undang dasar. Pertama, pergantian UUD 1945 dengan Konstitusi RIS pada rentang waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950. Dalam rentang waktu ini, bentuk negara kita berubah dari kesatuan menjadi serikat, sistem pemerintahan juga berubah dari presidensil menjadi parlementer. Kedua, pergantian Konstitusi RIS dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pada rentang waktu 17 Agutus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959. Pada periode pemerintahan ini bentuk negara kembali berubah menjadi negara kesatuan dan sistem pemerintahan menganut sistem parlementer. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada periode 1949 sampai dengan 1959, negara kita menganut demokrasi liberal.

Dalam masa pemerintahan ini terjadi berbagai pergantian kabinet, sehingga berdampak pada pembangunan yang tidak berjalan dengan baik dan lancar. Pergantian kabinet tersebut adalah :

a) Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951)

Kabinet ini merupakan kabinet yang pertama dipilih untuk menjalankan pemerintahan setelah periode RIS dan dipimpin oleh Mohammad Natsir dari Partai Masyumi, maka disebut Kabinet Natsir. Didukung oleh para tokoh terkenal dan mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing, seperti Sri Sultan Hamengkubowono IX, Mr. Mohammad Roem Royen, Mr. Asaat, Ir. Juanda, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo yang merupakan ahli ekonomi. Ada 5 titik fokus utama yang digelar dalam masa kabinet ini, yaitu:

1) Meningkatkan usaha keamanan dan ketentraman.

2) Konsolidasi ke semua golongan yang ada untuk penyempurnaan pemerintahan.

3) Menyempurnakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang saat itu disebut angkatan perang.

4) Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat yang selama masa penjajahan terikat dan dikuasai penjajah.

5) Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat. Karena sesuai perjanjian RIS seharusnya Irian Barat yang merupakan wilayah jajahan Belanda menjadi wilayah RI.

b) Kabinet Sukiman –Soewirjo (27 April1951-3 April 1952)

Pada awalnya, Prseden Sukarno tidak langsung menunjuk Perdana Menteri baru pengganti Natsir. Beliau menunjuk Sartono yang pada saat itu menjadi Ketua PNI menjadi formatur sampai terbentuk kabinet baru koalisi PNI dan Masyumi. Setelah sebulan, Presiden Sukarnobaru berhasil membentuk kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI yang dipimpin oleh Sukiman (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Program kerja kabinet Sukirman dan Suwirjo, antara lain:

1) Mengusahakan jaminan keamanan dan ketentraman kepada rakyat.

2) Mengusahakan kemakmuran rakyat, dengan salah satunya memperbaharui hukum agraria (pertanahan) agar sesuai kepentingan para petani.

3) Mempercepat pemilihan umum.

4) Menetapkan kebijakan politik luar negeri bebas aktif dan berusaha mengembalikan Irian Barat menjadi wilayah Indonesia.

5) Menyiapkan undang-undang tentang serikat pekerja / buruh, perjanjian kerjasama dengan serikat buruh tersebut, penetapan upah minimum pekerja, dan penyelesaian pertikaian yang melibatkan buruh.

c) Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)

Kabinet pada masa demokrasi liberal, Sekali lagi Presiden Sukarno mencoba mengkoalisikan dua partai besar yang berkuasa saat itu, yaitu Partai Masyumi dan PNI. Presiden menunjuk Wilopo sebagai pimpinan kabinet yang baru sehingga dikenal dengan nama Kabinet Wilopo. Program kerja utama Kabinet Wilopo, antara lain:

1) Mempercepat usaha peningkatan pendidikan dan pengajaran.

2) Membuat undang-undang perburuhan yang sebenarnya sudah menjadi program kerja kabinet sebelumnya.

3) Menyempurnakan lembaga-lembaga negara yang ada. Ini juga merupakan lanjutan program sebelumnya, yang salah satu caranya adalah degan mempercepat pemilu.

4) Meneruskan perjuangan mengembalikan Irian Barat menjadi wilayah Indonesia.

5) Kabinet ini kembali jatuh setelah bertahan hanya sekitar 3 bulan. Penyebab utama kejatuhannya adalah Peristiwa Tanjung Morowa, yang merupakan peristiwa keributan karena pembagian tanah yang ditunggangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

d) Kabinet Ali I atau Kabinet Ali-Wongso (31 Juli 1953-12 Agustus 1955)

Kabinet keempat ini ditunjuk oleh Presiden Sukarno tanpa dukungan Partai Masyumi. Namun didukung oleh banyak partai baru, seperti Partai Nahdhatul Ulama dan Partai Iondonesia Raya (PIR). Program kerja pokok Kabinet Ali Sastroamijoyo, yaitu:

1) Meningkatkan keamanan rakyat dan segera melaksanakan pemilihan umum.

2) Menyegerakan pembebasan Irian Barat yang sudah menjadi masalah berlarut-larut.

3) Pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif yang sesuai dengan undang-undang.

4) Penyelesaian masalah pertikaian politik dan pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

Sebenarnya, dibandingkan kabinet lain, Kabinet Ali Sasatroamijoyo menghasilkan beberapa kemajuan, antara lain:

1) Penetapan pelaksanaan pemilihan umum yang sudah direncanakan 23 September 1955.

2) Pelaksanaan Konfrensi Asia Afrika di Bandung yang menghasilkan dan kesepakatan Gerakan Non Blok yang membuat Indonesia sangat dihargai di mata dunia.

Namun, kabinet ini juga tidak bertahan lama dengan banyaknya korupsi yang terjadi, pemberontakan DI / TII yang tidak kunjung usai, dan yang terakhir Partai NU menarik menteri-menteri yang ada dalam pemerintahan.

e) Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)

Kabinet Burhanudin Harahap tidak langsung menggantikan Kabinet Ali Sastroamijoyo, karena pada waktu itu Presiden Sukarno sedang menunaikan ibadah haji. Dan pada awalnya, Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri, tetapi hal tersebut akan bertentangan dengan kedudukan beliau sebagai Wakil Presiden. Program / rencana kerja Kabinet Burhanudin, antara lain:

1) Mengembalikan kepercayaan moral rakyat terhadap pemerintah, terutama kepercayaan Partai Masyumi

2) Melaksanakan sistem yang sudah direncanakan kabinet dan pada akhirnya direncanakan sesuai rencana pada tanggal 29 September 1955.

3) Memberantas korupsi.

4) Menyelesaikan masalah inflasi ekonomi yang semakin meningkat.

5) Meneruskan perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia.

Dengan terlaksananya pertama di Indonesia, maka otomatis kabinet kerja Burhanudin berakhir masa jabatannya. Beliau menjadi satu-satunya cabinet yang melaksanakan tugas sampai selesai.

f) Kabinet Ali II (20 Maret 1956-14 Maret 1957)

Disebut sebagai Kabinet Ali II karena sebelumnya Ali Sasroamijoyo pernah menjabat sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 65 tahun 1956. Program unggulan Kabinet Ali II, yaitu:

1) Mengajukan pembatalan hasil KMB yang pernah membentuk RIS.

2) Melanjutkan perjuangan merebut Irian Barat.

3) Memulihkan keamanan negara dan memperbaiki ekonomi yang semakin terpuruk dengan inflasi yang semakin tinggi.

4) Melaksanakan politik bebas aktif dengan bekerja sama dengan negara-negara Asia Afrika yang kebanyakan sama-sama baru merdeka.

Kabinet Ali II membentuk propinsi Irian Barat yang beribu kota Soasio, Maluku Utara. Selain itu, pada masa kabinet Ali II, Indonoesia mulai berperan aktif dalam ikut melaksanakan ketertiban dunia dengan dikirimkannya Pasukan Garuda ke Mesir. Namun akhirnya, karena pemberontakan masih ada di berbagai wilayah Indonesia, keretakan antar partai pendukung di tubuh kabinet, dan Konsepsi Presiden 21 Febuari 1957, Kabinet Ali II juga berakhir. (baca juga: Macam-Macam Ras Di Indonesia)

g) Kabinet Juanda (9 April 1957-10 Juli 1959)

Kabinet pada masa demokrasi liberal ini merupakan kabinet yang di dalamnya banyak tokoh yang ahli dalam berbagai bidang dan bukan lagi kabinet yang terdiri dari partai-partai pendukung. Program pokok Kabinet Djuanda disebut Panca Karya, yaitu:

1) Membentuk Dewan Nasional untuk menampung segala aspirasi rakyat.

2) Menormalkan kondisi RI yang memburuk di segala bidang.

3) Melancarkan pelaksanaan KMB yang masih mengikat Indonesia akan terbentuknya RIS.

4) Melanjutkan perjuangan merebut Irian Barat dengan upaya diplomatik.

5) Meningkatkan proses pembangunan yang belum stabil sejak Indonesia merdeka.

Kabinet ini masih mendapat tantangan yang sama dengan kabinet-kabinet sebelumnya, seperti pemberontakan di berbagai wilayah, keadaan ekonomi yang semakin menurun, dan krisis demokrasi liberal. Puncaknya adalah Peristiwa Cikini pada bulan November 1957 yang merupakan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Kabinet ini dibubarkan bersamaan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 untuk kembali pada UUD 1945.

Masa demokrasi liberal merupakan masa yang semua elemen demokrasinya dapat kita temukan perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia.

  1. Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya meskipun pemerintahannya baru berjalan beberapa bulan, seperti yang terjadi pada Ir. Djuanda Kartawidjaja yang diberhentikan dengan mosi tidak percaya dari parlemen.

2. Akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa sebagai alat kontrol sosial. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet pada periode ini merupakan contoh konkret dari tingginya akuntabilitas tersebut.

3.Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal. Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem multipartai. Pada periode ini, hampir 40 partai politik terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses rekrutmen, baik pengurus atau pimpinan partainya maupun para pendukungnya. Campur tangan pemerintah dalam hal rekrutmen boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Setiap partai bebas memilih ketua dan segenap anggota pengurusnya.

4. Sekali pun pemilihan umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kompetisi antarpartai politik berjalan sangat intensif dan fair, serta yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dengan bebas tanpa ada tekanan atau rasa takut.

5. Masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Hak untuk berserikat dan berkumpul dapat diwujudkan dengan jelas, dengan terbentuknya sejumlah partai politik dan organisasi peserta pemilihan umum. Kebebasan pers juga dirasakan dengan baik. Demikian juga dengan kebebasan berpendapat. Masyarakat mampu melakukannya tanpa ada rasa takut untuk menghadapi risiko, sekalipun mengkritik pemerintah dengan keras.

6. Dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang cukup bahkan otonomi yang seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat pemerintah daerah.

Keenam indikator tersebut merupakan ukuran dalam pelaksanaan demokrasi pada masa pemerintahan parlementer. Akan tetapi, pelaksanaan tersebut tidak berumur panjang. Demokrasi liberal hanya bertahan selama sembilan tahun seiring dengan dikeluarkannya dekrit oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali kepada UUD 1945. Presiden menganggap bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong sehingga beliau menganggap bahwa sistem demokrasi ini telah gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.

Terdapat beberapa kegagalan dalam pelaksanaan demokrasi liberal yaitu sebagai berikut :

1. Dominan terhadap kepentingan partai politik dan golongan yang mampu menyebabkan konstituante yang digunakan sebagai ajang konflik terhadap berbagai kepentingan

2. Gagalnya konstituante dalam menetapkan berbagai dasar Negara yang baru

3. Tingkat perekonomian masyarakat semakin rendah. Hal tersebut berdampak pada masyarakat yang semakin apatis terhadap politik.

c. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Periode 1959 – 1965 (Demokrasi Terpimpin)

Demokrasi Terpimpin dimulai sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden Soekarno sebagai kepala negara melihat situasi ini sangat membahayakan bila terus dibiarkan. Oleh karena itu, untuk mengeluarkan bangsa dari persoalan yang teramat pelik ini, Presiden Soekarno menerbitkan suatu dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut, Presiden menyatakan :

1. Pembubaran Dewan Konstituante

2. Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950

3. Pembentukan MPRS dan DPAS

Dekrit Presiden tersebut mengakhiri era demokrasi parlementer, yang kemudian membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan politik nasional. Era baru demokrasi dan pemerintahan Indonesia mulai dimasuki, yaitu suatu konsep demokrasi yang oleh Presiden Soekarno disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Maksud konsep terpimpin ini, dalam pandangan Presiden Soekarno adalah dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

Demokrasi terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada masa demokrasi parlementer. Adapun karakteristik yang utama dari perpolitikan pada era demokrasi terpimpin sebagai berikut:

1. Mengaburnya sistem kepartaian. Kehadiran partai-partai politik bukan untuk mempersiapkan diri dalam rangka mengisi jabatan politik di pemerintah (karena pemilihan umum tidak pernah dijalankan), tetapi lebih merupakan elemen penopang dari tarik ulur kekuatan antara lembaga kepresidenan, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia.

2. Dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi sedemikian lemah. DPR-GR tidak lebih hanya merupakan instrumenpolitik lembaga kepresidenan. Proses rekrutmen politik untuk lembaga ini pun ditentukan oleh presiden.

3. Hak dasar manusia menjadi sangat lemah. Kritik dan saran dari lawan-lawan politik Presiden tidak banyak diberikan. Mereka tidak mempunyai keberanian untuk menentangnya.

4. Masa demokrasi terpimpin membuat kebebasan pers berkurang. Sejumlah surat kabar dan majalah dilarang terbit oleh pemerintah seperti misalnya . Harian Abadi yang berafiliasi dengan Masyumi dan Harian Pedoman yang berafiliasi dengan PSI.

Sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah-daerah memiliki otonomi yang terbatas. Dari lima karakter di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada era demokrasi terpimpin terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap demokrasi. Hal ini tidak terlepas dari kondisi Indonesia yang baru merdeka.

a. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Periode 1945-1950 (Demokrasi Revolusi)

1. Pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan.

2. Pemilihan Umum belum dapat dilaksanakan sekalipun hal itu telah menjadi salah agenda politik utama.

3. Pemberian hak-hak politik secara menyeluruh.semua warga negara yang sudah dianggap dewasa memiliki hak politik yang sama, tanpa ada diskriminasi yang bersumber dari ras, agama, suku dan kedaerahan.

4. Presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi seorang dictator

5. Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 peletak dasar bagi sistem kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik kita, maka dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik.

b. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Periode 1950-1959 (Demokrasi Liberal )

1. Terjadi dua kali pergantian undang-undang dasar. Pertama, pergantian UUD 1945 dengan Konstitusi RIS pada rentang waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950. Bentuk Negara kita berubah dari kesatuan menjadi serikat. Demokrasi Liberal mengakibatkan sistem pemerintahan berubah dari presidensil menjadi parlementer. Kedua, pergantian Konstitusi RIS dengan Undang- Undang Dasar Sementara 1950 pada rentang waktu 17 Agutus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959. Periode pemerintahan ini bentuk negara kembali berubah menjadi negara kesatuan dan sistem pemerintahan menganut sistem parlementer.

2. Periode 1949 sampai dengan 1959, negara kita menganut demokrasi Liberal :

a) Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan.

b) Akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi.

c) Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal.

d) Sekali pun pemilihan umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi.

e) Masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal.

3. Adanya Pemilihan Umum pertama pada tahun 1955

c. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)

1. Presiden Soekano suatu dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1945. dalam dekrit tersebut, presiden menyatakan membubarkan Dewan Konstituante dan Konstitusi kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.

2. Demokrasi yang oleh Presiden Soekarno disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Maksud konsep terpimpin ini, dalam pandangan Presiden Soekarno adalah dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

3. Demokrasi tidak lain merupakan perwujudan kehendak presiden dalam rangka menempatkan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang paling berkuasa di Indonesia.

Pertemuan Ketiga

Dinamika penerapan demokrasi di Indonesia: Periode Orde Baru dan Orde Reformasi

A. PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI

Secara umum, setidaknya ada terdapat 7 prinsip demokrasi yang perlu diketahui. Berikut ulasannya:

1. Negara Berdasarkan Konstitusi

Bagi yang tidak tahu apa itu konstitusi, jadi konstitusi itu bisa diartikan sebagai Undang-Undang atau peraturan-peraturan hukum lain yang berlaku disuatu negara. Keberadaan konstitusi ini sangatlah penting untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak membuat keputusan yang sewenang-wenang dan merugikan rakyat.

Sementara rakyat juga tidak dapat semena-mena dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajibannya. Tujuannya tidak lain untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan dalam sebuah negara.

2. Jaminan Perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia)

Hak Asasi Manusia atau disingkat HAM adalah hak dasar/pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. HAM tidak dapat dicabut dan dihilangkan bahkan oleh pemerintah sekalipun. HAM meliputi hak untuk hidup, kebebasan memilih agama yang ingin dianutnya, kebebasan berserikat, berkumpul, menyampaikan pendapat, dan hak-hak lain yang diatur dalam Undang-Undang.

Jadi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia pada hakikatnya merupakan bagian dari pembangunan suatu negara demokrasi, untuk itu prinsip demokrasi ini sangat menjunjung tinggi yang namanya HAM.

3. Kebebasan Berserikat dan Mengutarakan Pendapat

Dalam prinsip berdemokrasi, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam berserikat, menyampaikan pendapat, dan juga membentuk suatu organisasi yang mana telah diatur dalam Undang-Undang negara tersebut. Melalui organisasi tersebut, setiap individu dapat memperjuangkan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang warga negara.

Walaupun terdapat kata kebebasan dalam berserikat dan mengutarakan pendapat, kebebasan disini tidak mutlak, masih ada hukum-hukum yang mengaturnya. Untuk itu setiap warga negara juga harus memerhatikan bagaimana cara menyalurkan pendapat mereka dengan cara-cara yang diperbolehkan oleh Undang-Undang.

4. Pergantian Kekuasaan Secara Berkala

Di negara kita sendiri, terdapat Pemilihan Umum atau Pemilu setiap 5 tahun sekali, nah itu sesuai dengan prinsip nomor 4 ini yaitu pergantian kekuasaan secara berkala. Salah seorang ahli sejarah asal Inggris, Lord Acton pernah mengutarakan pendapatnya.“Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”: Manusia yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas (absolut) pasti akan menyalahgunakannya.

Adanya pergantian kekuasaan ini bertujuan agar praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) bisa diminimalisir. Dinegara kita sendiri seseorang hanya dapat menjabat sebagai seorang presiden selama 2x masa jabatan atau 10 tahun.

5. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak

Maksudnya peradilan yang bebas adalah peradilan yang tidak dikendalikan atau tidak dicampur tangani oleh pihak tertentu. Dengan adanya kebebasan ini akan timbul rasa keadilan yang mana tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan tidak memihak maksudnya peradilan tidak memandang status, jabatan, atau kedudukan seseorang. Semua sama di mata hukum. Maka dari itu perlu posisi netral untuk dapat melihat permasalahan secara lebih jernih dan kemudian akan menghasilkan putusan yang adil.

6. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan

Instrumen untuk menegakkan kebenaran serta keadilan adalah hukum. Maka dari itu, diperlukan pelaksanaan hukum yang tidak pandang bulu. Setiap perbuatan melanggar hukum wajib ditindak secara tegas sesuai hukum yang berlaku. Dengan adanya hukum yang adil, maka akan ada wibawa hukum yang mana akan membuat setiap warga negara menaati peraturan tersebut.

7. Jaminan Kebebasan Pers

Dengan adanya kebebasan pers, membuat setiap warga negara dalam menyampaikan aspirasi, kritikan dan masukannya kepada pemerintah yang sedang berkuasa agar pemerintah tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Dengan adanya kebebasan pers ini diharapkan akan lebih mendekatkan pemerintah dan masyarakat.

B. DEMOKRASI INDONESIA DARI MASA KE MASA

1. Orde lama

Persoalan di seputar demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah dan dapat tumbuh dengan sendirinya dalam kehidupan bangsa. Akan tetapi seperti dikatakan Apter (1963), persoalan demokrasi adalah semata-mata merupakan penciptaan manusia, yang di satu sisi mencerminkan keterbatasan dan keharmonisan obyektif di luar diri manusia.

Beranjak dari semangat dan kerangka proposisi di atas, maka melumernya corak demokratik dan egaliter sebagai cita-cita sesungguhnya budaya Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Dapat diambil contoh kasus ketika terjadinya proses pemindah-alihan kekuasaan beamtenstaal Belanda ke tangan Republik, ternyata justru tidak membawa perubahan yang berarti (Feith, dalam Purwaneni 2004). Perubahan-perubahan yang terjadi lebih banyak bergerak pada peringkat estesis-simbolik ketimbang etis substantif. Semangat egaliterian budaya demokratik yang terpatri dalam angan-angan masyarakat menjadi sirna, setelah pernyataan kemerdekaan dicoba untuk diwujudkan secara. Politik dalam bentuk pilihan pada demokrasi liberal dan parlementer, dan secara ekonomis dalam bentuk pilihan terhadap penciptaan kelas menengah pribumi yang kukuh (Bulkin dalam Purwaneni 2004). Obsesi dari pilihan politik dan ekonomi semacam ini adalah terbentuknya sistem ekonomi kapitalis yang mampu menopang tegaknya masyarakat berdaya (civil society). Jika hal ini dapat terwujud diharapkan demokrasi akan menampakkan dirinya secara nyata.

Namun sayangnya, persyaratan yang hendak diwujudkan tersebut, terutama adanya kelas menengah yang kuat sebagai aktor sentral untuk menopang demokrasi, tidak ditemukan. Pembangunan semesta yang dicanangkan Presiden Soekarno untuk mengubah perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional yang bercorak lebih sosialis terbukti gagal total, akibat tidak adanya dukungan struktur politik yang mapan dan demokratis. Kelas menengah yang diharapkan akan lahir pun sulit diketemukan. Kegagalan praktek pembumian demokrasi liberal dan parlementer lalu direduksi sebagai kegagalan penerapan demokrasi ala Barat yang bertentangan dengan jati diri dan budaya bangsa Indoesia. Nampaknya sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan penerapan demokrasi ala Barat tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya bangunan sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan keroposnya sistem ekonomi saat itu.

Kegagalan praktek pembumian demokrasi liberal dan parlementer lalu direduksi sebagai kegagalan penerapan demokrasi ala Barat yang bertentangan dengan jati diri dan budaya bangsa Indoesia. Nampaknya sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan penerapan demokrasi ala Barat tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya bangunan sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan keroposnya sistem ekonomi saat itu. Maka kemudian, Soekarno mencoba sistem Demokrasi Terpimpin, yang katanya menjadi demokrasi khas Indonesia. Sekalipun Soekarno mengatakan bahwa pemerintahannya menganut sistem demokrasi, namun praktik yang meluas dalam kehidupan bangsa dan negara justru adalah kekuasaan yang serba terpusat (sentralistik) pada diri Soekarno. Bung Karno selaku Presiden bahkan memperagakan pemerintahan diktator dengan membubarkan Konstituante, PSI, dan Masyumi serta meminggirkan lawan-lawan politiknya yang kritis. Kekuasaan otoriter yang anti demokrasi pada masa Orde Lama itu akhirnya tumbang pada tahun 1965.

2. Masa orde baru

Seiring dengan kegagalan pembumian demokrasi pada masa Orde Lama tersebut, unsur-unsur "di luar" masyarakat secara perlahan-lahan tumbuh dan berkembang menjadi wahana tumbuhnya logika dan penjabaran baru budaya bangsa Indonesia. Pada masa Orde Baru, diinterpretasikan bahwa budaya politik dijabarkan sedemikian rupa sehingga negara bertindak sebagai aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor tunggal ini terartikulasi melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dengan seluruh perangkat birokrasi dan militernya demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik. (Membandingkan dgn 7 Prinsip demokrasi)

Di sinilah kemudian terjadi proses penyingkiran corak egaliter dan demokratik dari budaya bangsa Indonesia dan kemudian digantikan oleh corak feodalistik, yang dimungkinkan karena dua hal pokok (Suharso dalam Purwaneni, 2002). Pertama, melalui integrasi, pembersihan dan penyatuan birokrasi negara dan militer di bawah satu komando. Upaya ini membuka jalan bagi penjabaran dan pemberian logika baru dalam feodalisme budaya bangsa Indonesia secara nyata dan operasional. Jabaran dan logika baru ini semakin menemukan momentumnya berkaitan dengan kenyataan di masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat parah di satu pihak, dan obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai peletak dasar penghapusan kemiskinan di lain pihak. Kedua, pengukuhan negara qua negara juga dilakukan melalui upaya penyingkiran politik massa. Partisipasi politik yang terlalu luas dan tidak terkontrol, dianggap dapat membahayakan stabilitas politik yang merupakan conditio sine qua non bagi berlangsungnya pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, keterlibatan negara melalui aparat birokrasi dan militer diabsahkan hingga menjangkau ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. (Hukum dipakai sebagai sebuah alat untuk mempertahankan kekuasaan)

3. Era reformasi

Pada masa reformasi, Aspinall (Purwaneni, 2004) mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, yang merupakan ciri-ciri demokrasi. Muncul tuntutan-tuntutan terhadap reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan implementasi demokrasi (Demokrasi dilaksanakan secara langsung)

Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini (Aspinall, 2004), yaitu: (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2) Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya berakar pada korupsi dan kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik, sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di kalangan elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi, nampaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata bangunan demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi masih banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural kelembagaan ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagai paradoks yang masih berkembang di era reformasi sering membuat kita untuk berpikir ulang dan mengedepankan pertanyaan kritis: Apakah masa transisi ini akan bisa dilewati dengan baik sehingga terbentuk consolidated democracy, atau kita gagal melaluinya sehingga yang muncul adalah consolidated anarchy yang dapat menggiring kita kembali pada sistem otoritarian dan militeristik?

Menurut Suharso (2002) setidaknya tercatat berbagai paradoks demokrasi yang patut dikritisi saat ini. Pertama, berkembangnya kekerasan politik, anarki, radikalisme, percekcokan massal yang sering dilanjutkan dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya yang justru mencerminkan perilaku anti demokrasi. Politik zero sum game (dan bukan win-win) dalam rangka menenggelamkan lawan politik menjadi praktek-praktek lazim yang menumbuhkan rasa takut untuk berbeda. Tumbuh ketakutan politik diam-diam di berbagai kalangan masyarakat, termasuk mereka yang kritis, hanya karena merasa berbeda dengan kekuatan politik yang ada. Demokrasi nyaris tidak menjadi sebuah alam pikiran dan kearifan untuk toleran terhadap perbedaan. Gejala monopoli untuk menang sendiri mulai marak, bahkan sampai ke bentuk fisik, dengan menggunakan simbul-simbul milik partai, kendati harus memakai berbagai fasilitas publik.

Kedua, berkembangnya konspirasi politik yang sangat pragmatis dengan mereka yang dulu anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat kental hanya sekedar demi meraih kemenangan Pemilu tanpa menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan demokrasi. Demokrasi Indonesia: Dari Masa ke Masa (Hartuti Purwaneni) 123 Ketiga, demokrasi mulai dimasukkan hanya sekedar sebagai retorika politik ketimbang sebagai sebuah agenda politik. Ketika keseragaman pada Orde Baru dihujat habis-habisan, kini sebagian kekuatan demokratik berargumentasi bahwa demokrasi tidak harus selalu berisi perbedaan tetapi juga kesamaan. Ketika pilihan tunggal ala Orde Lama digugat, kini juga tumbuh retorika bahwa pilihan tunggal itu juga demokratik. Kesan yang tumbuh ialah bahwa demokrasi bukan lagi sebagai idealisme dan agenda yang harus diperjuangkan untuk mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih sebagai alat dan isu untuk meraih kekuasaan.

Keempat, ketika kultus individu yang diperagakan oleh rezim Soeharto dengan berbagai simbolnya dihujat keras untuk dihabisi, kini sebagian masyarakat politik malahan memperagakan simbolisasi-simbolisasi figur kepemimpinan yang membawa warna kultus individu dalam bentuk lain. Simbol-simbol budaya politik Orde Baru bahkan mulai dibangkitkan kembali, seakan merupakan potret kehidupan politik yang benar. Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan mobilisasi simbolsimbol kharisma politik mulai dilakukan, dalam rangka memberikan kesan bahwa telah lahir sebuah potensi kepemimpinan baru yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke depan. Tidak jadi soal apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada pesona yang ditawarkan sebagai sebuah komoditas politik. Sejumlah ironi atau paradoks demokrasi yang muncul di permukaan era reformasi ini menunjukkan, betapa terjal jalan yang harus ditempuh oleh bangsa ini menuju demokrasi yang sesungguhnya. Bahwa, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi secara jujur, jernih dan bertanggung jawab, baik pada tingkat alam pikiran maupun lebih-lebih sebagai politik yang tersistem. Perjuangan demokrasi akhirnya harus berhadapan dengan godaan-godaan kekuasaan di tengah sejumlah jerat politik yang sebenarnya adalah anti demokrasi.

Pertemuan Keempat

Membangun Kehidupan yang Demokratis di Indonesia

A. Membangun Kehidupan yang Demokratis di Indonesia

1. Pentingnya Kehidupan yang Demokratis

Pada hakikatnya sebuah negara dapat disebut sebagai negara yang demokratis, apabila di dalam pemerintahan tersebut rakyat memiliki persamaan di depan hukum, memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, dan memperoleh pendapatan yang layak karena terjadi distribusi pendapatan yang adil, serta memiliki kebebasan yang bertanggung jawab. Mari kita uraikan maknamasing-masing.

a. Persamaan kedudukan di muka hukum

Hukum itu mengatur bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga rakyatnya. Rakyat memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya, hukum harus dijalankan secara adil dan benar. Hukum tidak boleh pandang bulu. Siapa saja yang bersalah dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak hukum yang tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh pemerintahan yang berkuasa, dan berani menghukum siapa saja yang bersalah.

b. Partisipasi dalam pembuatan keputusan

Dalam negara yang menganut sistem politik demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Aspirasi dan kemauan rakyat harus dipenuhi dan pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi yang merupakan arah dan pedoman dalam melaksanakan hidup bernegara. Para pembuat kebijakan memperhatikan seluruh aspirasi rakyat yang berkembang. Kebijakan yang dikeluarkan harus dapat mewakili berbagai keinginan masyarakat yang beragam. Sebagai contoh, ketika rakyat berkeinginan kuat untuk menyampaikan pendapat di muka umum maka pemerintah dan DPR menetapkan undang-undang yang mengatur penyampaian pendapat di muka umum.


2. Perilaku yang Mendukung Tegaknya Nilai-Nilai Demokrasi

Demokrasi tidak mungkin terwujud, jika tidak didukung oleh masyarakatnya. Pada dasarnya tumbuhnya budaya demokrasi disebabkan karena rakyat tidak senang dengan tindakan yang sewenang-wenang, baik dari pihak penguasa maupun dari rakyat sendiri. Oleh karena itu, kehidupan yang demokratis hanya mungkin dapat terwujud ketika rakyat menginginkan terwujudnya kehidupan tersebut. Bagaimana caranya supaya kita dapat menjalankan kehidupan yang demokratis? Untuk menjalankan kehidupan demokratis, kita bisa memulainya dengan cara menampilkan beberapa prinsip di bawah ini dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

a. membiasakan diri untuk berbuat sesuai dengan aturan main atau hukum yang berlaku;

b. membiasakan diri untuk bertindak demokratis dalam segala hal;

c. membiasakan diri untuk menyelesaikan persoalan dengan musyawarah;

d. membiasakan diri untuk mengadakan perubahan secara damai tidak dengan kekerasan;

e. membiasakan diri untuk memilih pemimpin melalui cara-cara yang demokratis;

f. selalu menggunakan akal sehat dan hati nurani dalam musyawarah;

g. selalu mempertanggungjawabkan hasil keputusan musyawarah kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara bahkan diri sendiri;

h. menuntut hak setelah melaksanakan kewajiban;

i. menggunakan kebebasan dengan rasa tanggung jawab;

j. menghormati hak orang lain dalam menyampaikan pendapat;

k. membiasakan diri memberikan kritik yang bersifat membangun.

Sebagai generasi penerus bangsa dan sebagai ujung tombak dalam usaha menegakkan nilai-nilai demokrasi, sudah semestinya mendemonstrasikan peran serta dalam usaha mewujudkan kehidupan yang demokratis. Paling tidak, mencoba membiasakan hidup demokratis di lingkungan keluarga dan di lingkungan sekolah maupun masyarakat tempat kalian tinggal, sehingga pada akhirnya berkembang menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Daftar Pustaka

Kardiman Yuyus, dkk. 2017. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Erlangga

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Buku Siswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan XI SMA/SMK/MAK. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Buku Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan XI SMA/SMK/MAK. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud

Listyarti Retno dan Setiadi. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan 2 Untuk SMK dan MAK Kelas XI. Jakarta: Erlangga

Winarno Dwi. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan 2 Untuk SMK dan MAK Kelas XI. Jakarta : Bumi Aksara

http://simpulanilmu.blogspot.com/2016/06/pelaksanaan-demokrasi-di-indonesia orde.html diakses tanggal 9 Oktober 2018

https://isoelink.wordpress.com/2017/09/26/dinamika-penerapan-demokrasi-di-indonesia/ diakses tanggal 9 Oktober 2018

http://politik-dan-ekonomi-indonesia-pasca-pengakuan-kedaulatan-12-638.jpg diakses tanggal 9 Oktober 2018

https://materiips.com/kabinet-pada-masa-demokrasi-liberal, 7 Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal di Indonesia, diakses tanggal 9 Oktober 2018

Cholisin, dkk. 2005. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SMP/MTs Kelas VII. Surakarta: Mediatama

Cholisin, dkk. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak

Rochmadi N.W dan Hanifah Siti. 2018. Pancasila dan Kewarganegaraan X SMK/MAK. Bogor: Yudhistira

Sukarno. 2013. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Surya Sakti Hadiwijoyo.2012. Negara, Demokrasi dan Civil Society.Salatiga: Graha Ilmu

Srijanti, dkk. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Jakarta: Graha Ilmu.

https://www.youtube.com/watch?v=DLCEZgvikfs tentang demokrasi dimulai dari keluarga. Diambil pada tanggal 8 Oktober 2018

Jurnal : https://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/view/2195/1534

https://www.uinjkt.ac.id/id/dinamika-politik-indonesia/ (Diakses 9 Oktober 2018 / 14.05 WIB)

Purnaweni, Hartuti /2004 https://media.neliti.com/media/publications/73273-ID-demokrasi-indonesia-dari masa-ke-masa.pdf Jurnal Administrasi Publik, Vol. 3, No.2, 2004 (Diakses 9 Oktober 2018 / 19.00 WIB)

Maulana, Ahmad, 2017, http://www.informasibelajar.com/prinsip-prinsip-demokrasi/ Prinsip-prinsip demokrasi, (Diakses 18 Oktober 2018 / 15.03 WIB)